Senin, 09 Juni 2014

PENGERTIAN NYERI



Pengertian nyeri
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan
Fisiologi nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
a. Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.
Teori Pengontrolan nyeri (Gate control theory)
Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan (Tamsuri, 2007)
Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.
Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C melepaskan substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. tehnik distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter, 2005)
Respon Psikologis
respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien.
Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara lain :
1) Bahaya atau merusak
2) Komplikasi seperti infeksi
3) Penyakit yang berulang
4) Penyakit baru
5) Penyakit yang fatal
6) Peningkatan ketidakmampuan
7) Kehilangan mobilitas
8) Menjadi tua
9) Sembuh
10) Perlu untuk penyembuhan
11) Hukuman untuk berdosa
12) Tantangan
13) Penghargaan terhadap penderitaan orang lain
14) Sesuatu yang harus ditoleransi
15) Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki
Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya
Respon fisiologis terhadap nyeri
1) Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)
a) Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate
b) Peningkatan heart rate
c) Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP
d) Peningkatan nilai gula darah
e) Diaphoresis
f) Peningkatan kekuatan otot
g) Dilatasi pupil
h) Penurunan motilitas GI
2) Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)
a) Muka pucat
b) Otot mengeras
c) Penurunan HR dan BP
d) Nafas cepat dan irreguler
e) Nausea dan vomitus
f) Kelelahan dan keletihan
Respon tingkah laku terhadap nyeri
1) Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:
2) Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)
3) Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)
4) Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan jari & tangan
5) Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan, Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd aktivitas menghilangkan nyeri)
Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri.
Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:
1) Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)
Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.
2) Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.
Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar.
Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien mengkomunikasikan nyeri secara efektif.
3) Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.
Faktor yang mempengaruhi respon nyeri
1) Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.
2) Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).
3) Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.
4) Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya.
5) Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.
6) Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas.
7) Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.
8) Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.
9) Support keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan
Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).
Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :
1) skala intensitas nyeri deskritifskala intensitas nyeri deskritif
2) Skala identitas nyeri numerik
Skala identitas nyeri numerik
3) Skala analog visual
Skala analog visual
4) Skala nyeri menurut bourbanis
Skala nyeri menurut bourbanis
Keterangan :
0 :Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi
dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis,
menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat
mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi
10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi
berkomunikasi, memukul.
Karakteristik paling subyektif pada nyeri adlah tingkat keparahan atau intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.
Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri trbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992).
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter, 2005).
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter, 2005).

sumber
Priharjo, R (1993). Perawatan Nyeri, pemenuhan aktivitas istirahat. Jakarta : EGC hal : 87.
Shone, N. (1995). Berhasil Mengatasi Nyeri. Jakarta : Arcan. Hlm : 76-80
Ramali. A. (2000). Kamus Kedokteran : Arti dan Keterangan Istilah. Jakarta : Djambatan.
Syaifuddin. (1997). Anatomi fisiologi untuk siswa perawat.edisi-2. Jakarta : EGC. Hlm : 123-136.
Tamsuri, A. (2007). Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta : EGC. Hlm 1-63
Potter. (

Minggu, 08 Juni 2014

Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terminal

Pendahuluan 

Menjadi tua adalah proses alamiah yang akan dihadapi oleh setiap mahluk hidup dan meninggal dengan tenang adalah dambaan setiap insan. Namun sering kali harapan dan dambaan tersebut tidak tercapai. Dalam masyarakat kita, umur harapan hidup semakin bertambah dan kematian semakin banyak disebabkan oleh penyakit-penyakit degeneratif seperti kanker dan stroke. Pasien dengan penyakit kronis seperti ini akan melalui suatu proses pengobatan dan perawatan yang panjang. Jika penyakitnya berlanjut maka suatu saat akan dicapai stadium terminal yang ditandai dengan oleh kelemahan umum, penderitaan, ketidak berdayaan, dan akhirnya kematian.
Sebagin besar kematian di rumah sakit adalah kematian akibat penyakit kronis dan terjadi perlahan-lahan. Pada umumnya, dokter dan perawat lebih mudah menghadapi kematian yang muncul secara perlahan-lahan. Mereka tidak dipersiapkan dengan baik untuk berhadapan dengan ancaman kematian. Ditengah keputusasaan, sering kali terdengar ”Kami sudah melakukan segalanya yang bisa dilakukan........”
Namun kini telah mulai disadari untuk pasien terminal pun profesi medis masih dapat melakukan banyak hal. Jika upaya kuratif tidak dimunginkan lagi, masih luas kesempatan untuk upaya paliatif. Pada stadium lanjut, pasien dengan penyakit kronis tidak hanya mengalami berbagai masalah fisik seperti nyeri, sesak nafas, penurunan berat badan, gangguan aktivitas tetapi juga mengalami gangguan psikososial dan spiritual yang mempengaruhi kualitas hidup pasien dan keluarganya. Maka kebutuhan pasien pada stadium lanjut suatu penyakit tidak hanya pemenuhan/pengobatan gejala fisik, namun juga pentingnya dukungan terhadap kebutuhan psikologis, sosial dan spiritual yang dilakukan dengan pendekatan interdisiplin yang dikenal sebagai perawatan paliatif atau palliative care. Dalam perawatan paliatif maka peran perawat adalah memberikan Asuhan Keperawatan pada Pasien Terminal untuk membantu pasien menjalani sisa hidupnya dalam keadaan seoptimal mungkin.

Konsep Kehilangan dan berduka
(sudah disampaikan pada pertemuan sebelumnya: Asuhan Keperawatan pada pasien kehilangan dan berduka)


Arti Kematian 
Kematian terjadi bila:
- Fungsi spontan pernafasan dan jantung telah terhenti secara pasti
- Penghentian ireversibel setiap fungsi otak telah terbukti
Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang bahwa fungsi otak, pernafasan dan denyut jantung terhenti.jantung seseorang telah terhenti. 

Tanda-tanda Kematian
1. Dini: 
• Pernafasan terhenti , penilaian > 10 menit (inspeksi, palpasi auskultasi)
• Terhentinya sirkulasi, penilaian 15 menit, nadi karotis tidak teraba
• Kulit pucat
• Tonus otot menghilang dan relaksasi
• Pembuluh darah retina bersegmentasi beberapa menit pasca kematian 
• Pengeringan kornea yang menimbulkan kekeruhan dalam 10 menit (hilang dengan penyiraman air) 
2. Lanjut (Tanda pasti kematian)
• Lebam mayat (livor mortis)
• Kaku mayat (rigor mortis)
• Penuruna suhu tubuh (algor mortis)
• Pembusukan (dekomposisi)
• Adiposera (lilin mayat)
• Mumifikasi 

Perawatan Setelah Kematian
• Menangani tubuh klien secepat mungkin untuk mencegah kerusakan jaringan atau perubahan bentuk tubuh (setelah kematian tubuh akan mengalami perubahan fisik) 
• Beri kesempatan keluarga untuk melihat tubuh klien
• Luangkan waktu bersama keluarga untuk membantu mereka dala melewati masa berduka
• Siapkan kondisi ruangan sebelum keluarga melihat mayat klien
• Perawat menyiapkan tubuh klien dengan membuatnya tampak sealamiah dan senyaman mungkin 


Dampak sakit Terminal
• Gangguan psikologis
• Gangguan somatis
• Gangguan seksual
• Gangguan sosial
• Gangguan dalam bidang pekerjaan 

GEJALA DAN MASALAH YANG SERING DIJUMPAI PADA BERBAGAI SISTEM ORGAN
Sistem Gastrointestinal
- Anorexia 
- Konstipasi
- Mulut kering dan bau
- Kandidiasis dan sariawan mulut
Sistem Genitourinaria
- Inkontinensia urin
Sistem Integumen
- Kulit kering/pecah-pecah
- Dekubitus 
Sistem Neurologis : 
- Kejang
Perubahan Status Mental
- Kecemasan
- Halusinasi
- Depresi

Asuhan Keperawatan pada Pasien Terminal
a. Pengkajian
• Faktor Predisposisi 
• Faktor Presipitasi (Kehilangan bio, psiko, sosial, spiritual) 
• Perilaku 
• Mekanisme Koping 

b. Diagnosa Keperawatan
1. Dukacita adaptif b.d kehilangan kepemilikan pribadi 
2. Dukacita maladaptif b.d penyakit Terminal kronis
3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d faktor psikologis (respon dukacita yang tertahan) 
4. Perubahan proses keluarga b.d transisi/krisis situasi
5. Isolasi sosial b.d sumber pribadi tidak adequat 
6. Gangguan pola tidur b.d stress karena respon berduka
7. Distress spiritual b.d perpisahan dari ikatan keagamaan dan kultural 

c. Intervensi
1. Akomodasi dukacita
2. Menerima realitas kehilangan 
3. Mencapai kembali rasa harga-diri 
4. Memperbarui aktivitas atau hubungan normal
5. Terpenuhinya kebutuhan fisiologis, perkembangan dan spiritual
6. Mencapai kembali dan mempertahankan kenyamanan 
7. Mempertahankan kemandirian dalam aktivitas seharí-hari 
8. Mempertahankan harapan 
9. Mencapai kenyamanan spiritual 
10. Meraih kelegaan akibat kesepian dan isolasi 

d. Implementasi
1. Komunikasi terapeutik
a. Denial
Pembantahan ini menyangkut penyakit atau pronologis yang fatal. Pembantahan ini hanya diepaskan sedikit demi sedikit dalam suatu relasi kepercayaan dan pasien untuk diberi waktu untuk itu.



b. Anger
Dalam fase ini pasien memberontak melawan suratan nasip ,melawan Tuhan. Secara konkrit kemarahannya diarahkan kepada dokter, perawat atau keluarga terdekat. Yang penting ialah dokter atau perawat tidak menanggapi dengan mencap pasien sebagai pasien rewel.
c. Bergaining
Pasien mencoba meloloskan diri dari nasibnya atau sekurang-kurangnya menundanya. Dalam fase ini kita sering melihat pasien mencari kesembuhan dangan konsutasi pada dokter lain atau ia mencoba pengobatan alternatif
d. Depression
Jika akhir kehidupan harus diakui dengan tidak mungkin dihindarkan lagi, pasien menjadi sedih dan depresi. Konselor berusaha mendobrak kesedihan, terutama membuat pasien menyelesaikan hal-hal yang masih harus diurus atau memperbaiki kesalahan dahulu. Dengan cara ini pasien dapat meninggal dengan tenang dan damai.
e. Aceptence
Dalam fase ini konselor tidak boleh kecewa kalu fase terakhir tidak tercapai. Konselor harus mendampingi pasien dan tidak memaksa cara yang paling dianggap ideal
Orang yang paling dapat bertindak sebagai konseling kepada pasien terminal adalah dokter. Selain itu perawat seringkali juga paling dekat dengan pasien juga dapat memberikan konstribusi yang sangat berharga.
Hal penting yang harus dimiliki konselor adalah empati, yang penting pasien mendapat kepastian bahwa ia tidak ditinggalkan sendirian.
2. Pemeliharaan harga diri
3. Peningkatan kembalinya aktivitas kehidupan
4. Merawat klien menjelang ajal dan keluarganya

Sabtu, 07 Juni 2014

Konsep kehilangan (LOSS N GRIVE)


1.      Definisi Kehilangan
Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan (Potter & Perry, 2005).
2.                 Jenis-jenis Kehilangan
     Ada 5 jenis konsep kehilangan, yaitu :
a.       Kehilangan Objek Eksternal
Kehilangan ini mencakup segala kepemilikan yang telah menjadi usang, berpindah tempat, dicuri, atau rusak karena bencana alam. Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang terhadap benda yang hilang bergantung pada nilai yang dimiliki orang tersebut terhadap benda yang dimilikinya, dan kegunaan dari benda tersebut. Contoh : kehilangan sepeda motor, kehilangan uang, kehilangan rumah.
b.      Kehilangan Lingkungan yang telah Dikenal
Kehilangan ini mencakup meninggalkan lingkungan yang telah dikenal selama periode tertentu/kepindahan secara permanen. Contoh : pindah rumah baru dan alamat baru atau yang ekstrim lagi dirawat di rumah sakit. Kehilangan melalui perpisahan dari lingkungan yang telah dikenal dapat terjadi melalui situasi naturasional, misal : lansia pindah kerumah perawatan.
c.       Kehilangan Orang Terdekat
Kehilangan yang terjadi pada orang-orang terdekat seperti orangtua, pasangan, anak-anak, saudara sekandung, guru, dll. Contoh : pindah rumah, pindah pekerjaan karena promosi atau mutasi, melarikan diri, dan kematian.
d.      Kehilangan Aspek Diri
Kehilangan aspek dalam diri dapat mencakup bagian tubuh, fungsi fisiologis, atau psikologis. Kehilangan ini dapat terjadi karena penyakit, cedera, atau perubahan perkembangan situasi. Kehilangan seperti ini dapat menurunkan kesejahteraan individu, mengalami kehilangan kedudukan, mengalami perubahan permanen dalam citra tubuh dan konsep diri. Contoh : kehilangan anggota tubuh dan harus diamputasi karena kecelakaan lalu lintas, menderita kanker organ tubuh yang ganas, terkena penyakit HIV/ AIDS.
e.       Kehilangan Hidup
Kehilangan ini ada pada orang-orang yang akan menghadapi kematian sampai dengan terjadinya kematian. Hal ini sering menyebabkan kehilangan kontrol terhadap diri sendiri, gelisah, takut, bergantung pada orang lain, putus asa dan malu. Contoh : pasien yang divonis menderita kanker otak, luekimia atau penyakit langka lainnya yang tidak bisa disembuhkan oleh dokter.

1.      Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehilangan
-          Faktor Perkembangan Anak-anak Belum mengerti seperti orang dewasa, belum bisa merasakan. Belum menghambat perkembangan. Bisa mengalami regresi.Orang dewasa Kehilangan membuat orang menjadi mengenang tentang hidup, tujuan hidup. Menyiapkan diri bahwa kematian adalah hal yang tidak bisa dihindari.
-          Faktor Keluarga Keluarga mempengaruhi respond an ekspresi kesedihan. Anak terbesar biasanya menunjukkan sikap kuat, tidak menunjukkan sikap sedih secara terbuka.
-           Faktor Sosial Ekonomi Apabila yang meninggal merupakan penanggung jawab ekonomi keluarga, berarti kehilangan orang yang dicintai sekaligus kehilangan secara ekonomi. Dan hal ini bisa mengganggu kelangsungan hidup.
-          Faktor Kultural
Kultur mempengaruhi manifestasi fisik dan emosi. Kultur barat menganggap kesedihan adalah sesuatu yang sifatnya pribadi sehingga hanya diutarakan pada keluarga, kesedihan tidak ditunjukkan pada orang lain. Kultur lain menganggap bahwa mengekspresikan kesedihan harus dengan berteriak dan menangis keras-keras.
-          Faktor Agama
Dengan agama bisa menghibur dan menimbulkan rasa aman. Menyadarkan bahwa kematian sudah ada dikonsep dasar agama. Tetapi ada juga yang menyalahkan Tuhan akan kematian.

1.      Faktor Penyebab Kematian
Seseorang yang ditinggal anggota keluarga dengan tiba-tiba akan menyebabkan goncangan jiwa yang berat dan tahapan kehilangan yang lebih lama. Ada yang menganggap bahwa kematian akibat kecelakaan diasosiasikan dengan kesialan. Kebutuhan keluarga yang kehilangan membutuhkan hal-hal sebagai berikut.
-          Harapan
Perawatan yang terbaik sudah diberikan. Keyakinan bahwa mati adalah akhir penderitaan dan kesakitan.
-          Partisipasi
Memberi perawatan. Sharing dengan staf perawatan.
-          Dukungan
Dengan dukungan seseorang bisa melewati kemarahan, kesedihan, dan penyangkalan. Dukungan bisa digunakan sebagai koping dengan perubahan yang terjadi.